Pengajar Tetap di Poltekkes Kemenkes Banjarmasin Jurusan Keperawatan Program Studi Sarjana Terapan. Bidang fokus yaitu Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Kepuasan Pasien, Sistem Pelayanan Primer, Pemerataan Pelayanan Kesehatan.
Menjaga Ruang Aman untuk Mahasiswa dan Pasien dari Perundungan Seksual
Minggu, 20 April 2025 10:42 WIB
Mengapa kekerasan seksual bisa terjadi di tempat seharusnya paling aman seperti kampus dan fasilitas kesehatan?
***
Belakangan ini, sejumlah kasus kekerasan seksual kembali mengguncang dunia kesehatan dan pendidikan. Seorang dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) diduga memperkosa keluarga pasien. Seorang dokter di Garut ditetapkan sebagai tersangka kekerasan seksual kepada pasiennya. Seorang guru besar di universitas ternama pun tersandung kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswa.
Membaca berita-berita itu, hati saya miris. Dunia kesehatan dan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman, tempat orang sakit mendapat pertolongan dan mahasiswa menuntut ilmu tanpa rasa takut. Namun, kenyataannya, ruang-ruang yang mestinya menjadi simbol kemanusiaan justru ternodai oleh perilaku menyimpang yang memanfaatkan relasi kuasa.
Saya pernah bekerja di sebuah klinik ekspatriat, dan ada satu hal sederhana tapi sangat berdampak yang selalu saya ingat. Saat dokter laki-laki hendak memeriksa pasien perempuan, ia tidak pernah melakukannya sendiri. Selalu ada perawat perempuan yang mendampingi. Bukan karena tidak percaya diri, tetapi karena memahami pentingnya menjaga etika dan rasa aman, baik bagi pasien maupun dirinya sendiri.
Praktik ini menjadi tameng, pencegah, sekaligus bentuk penghormatan terhadap batas-batas profesionalisme.
Sayangnya, tidak semua tempat memiliki kesadaran yang sama.
Di lingkungan pendidikan, relasi antara dosen dan mahasiswa pun tidak kalah rentannya. Mahasiswa sering merasa sungkan atau tidak berani menolak ketika dosennya mengajak berdiskusi di ruang tertutup, apalagi jika sang dosen memiliki pengaruh besar. Maka dari itu, keberadaan ruang konsultasi yang bersifat semi-terbuka menjadi krusial—ruang yang mendukung interaksi akademik secara nyaman, namun tetap dalam pengawasan untuk menghindari potensi risiko penyalahgunaan relasi kuasa.
Kita perlu berhenti menganggap kekerasan seksual sebagai aib yang harus disembunyikan. Yang seharusnya kita malu adalah jika kita membiarkan pelaku tetap berkeliaran tanpa sanksi, atau ketika institusi memilih diam demi menjaga citra. Reputasi sejati sebuah institusi justru terletak pada keberaniannya bertindak tegas demi melindungi martabat manusia.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan agar hal seperti ini tidak terus terulang?
Pertama, institusi kesehatan dan pendidikan harus memiliki prosedur operasional standar (SOP) yang jelas untuk mencegah kekerasan seksual. Misalnya, dalam praktik medis, wajib ada tenaga pendamping saat dokter memeriksa pasien lawan jenis. Dalam pendidikan, ruang konsultasi dosen-mahasiswa harus terbuka secara fisik atau memiliki pengawasan. Langkah sederhana ini bisa menjadi penghalang pertama bagi niat buruk.
Kedua, penting untuk menyelenggarakan pelatihan etika profesional, kesadaran gender, dan pencegahan kekerasan seksual secara berkala. Bukan hanya untuk mahasiswa, tapi juga dosen, dokter, dan tenaga pendidik lainnya. Kita tidak bisa mengandalkan moral individu semata; perlu ada edukasi yang sistemik dan konsisten.
Ketiga, institusi harus menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan terpercaya, di mana korban atau saksi bisa melapor tanpa takut dibungkam atau dibalas. Jika perlu, libatkan pihak ketiga atau lembaga independen dalam proses pelaporan dan investigasi.
Dan terakhir, mari kita tanamkan kembali nilai-nilai dasar dalam pendidikan dan pelayanan kesehatan: rasa hormat, empati, dan integritas. Jangan biarkan kekuasaan membungkam nurani. Jangan biarkan kepercayaan publik pada profesi pendidik dan tenaga kesehatan hancur oleh segelintir pelaku yang menyalahgunakan posisi.
Kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya bukan hanya membuat kita marah, tapi juga mendorong kita untuk bertindak. Kita semua, baik sebagai pendidik, tenaga kesehatan, mahasiswa, atau masyarakat umum, punya peran dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bermartabat.
Jangan biarkan korban menjadi korban dua kali: pertama saat dilecehkan, dan kedua saat suaranya tak dipercaya.
Sudah saatnya kita menjadikan ruang pendidikan dan kesehatan sebagai ruang aman bukan hanya dari penyakit, tapi juga dari kekerasan.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Menjaga Ruang Aman untuk Mahasiswa dan Pasien dari Perundungan Seksual
Minggu, 20 April 2025 10:42 WIB
Mencegah Stunting Harus Dimulai dari Pengetahuan Orang Tua
Rabu, 26 Maret 2025 15:46 WIBArtikel Terpopuler